Laman

c

Minggu, 15 November 2015

Kebiadaban --dan pembenaran terhadap tindakan biadab-- tidak mungkin muncul dari kaum beragama yang memahami agama

MUHASABAH UNTUK MEMBENTENGI DIRI









Oleh: Muhson Arrosyid

Bangga diri adalah meruntuhkan semangat, sedangkan merasa diri banyak kelemahan adalah sikap yang waspada, hati2 dalam bertindak.

Jangan berandai-andai dalam hidup kenyataan, karena melamun sering tak seindah harapan. Dan jangan terburu-buru apa yang anda cita-citakan, dan jangan memperlihatkan kebanggaan diri di hadapan orang. Karena setiap orang mempunyai jatah waktu sendiri-sendiri.

Manusia bisa berubah kapan saja, Tuhan mempunyai kehendak yang tidak bisa di tebak oleh hambanya, tugas sebagai hamba yang taat adalah selalu berusaha dan ikhtiyar,

Adapun jika keputusan dan dan yang menentukan tuhan semesta alam, jika engkau ridlo dengan pemberiannya, maka engkau termasuk orang penyabar dan orang Qona'ah dalam hidup, dan engkau akan merasakan nikmatnya hidup menderita saat deket dengan tuhan,
Jika hatimu ada kesucian hati, ketaatan, dan takut pada tuhanmu, maka seluruh binatang yang ada di muka bumi baik darat maupun lautan akan menjadi sahabatmu, dan bahkan akan mendoakanmu.

Ibarat Emas murni, meskipun di bakar dengan api, tetep emas juga, tidak berubah menjadi besi tembaga.
Jika Allah mencintaimu, maka engkau akan di uji setiap waktu,

Ujianmu tidak akan di berikan orang lain
Ujian orang lain juga tidak akan di berikan kepadamu
Rizqimu tidak akan di berikan orang lain
Rizqi Orang lain juga tidak akan di berikan kepadamu

$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
Jogjakarta / Ahad / 15 / November / 2015
----------(Pujonggo Ndesoo)------------

persahabatan

Sabtu, 14 November 2015

sahabat adalah seperti bintang...

sahabat

Orang lahir dengan polos dan pergi dengan telanjang

Seorang lelaki yang sedang dirundung kesedihan datang menemui Ali bin Abi Thalib, ia pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang kepadamu karena aku sudah tidak mampu lagi menahan beban kesedihanku”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku akan bertanya dua pertanyaan dan jawablah”
Lelaki itu berkata, “Ya, tanyakanlah”
“Apakah engkau datang ke dunia bersama dengan masalah-masalah ini?” kata Ali bin Abi Thalib
“Tentu tidak,” jawabnya
“Lalu apakah kau akan meninggalkan dunia dengan membawa masalah-masalah ini?” tanya Ali bin Abi Thalib
“Tidak juga,” jawabnya
Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata, “Lalu mengapa kau harus bersedih atas apa yang tidak kau bawa saat datang dan tidak mengikutimu saat kau pergi?"
Ali bin Abi Thalib melanjutkan, “Seharusnya hal ini tidak membuatmu bersedih seperti ini. Bersabarlah atas urusan dunia. Jadikanlah pandanganmu ke langit lebih panjang dari pandanganmu ke bumi dan kau pun akan mendapat apa yang kau inginkan. Tersenyumlah, karena rizkimu telah dibagi dan urusan hidupmu telah diatur. Urusan dunia tidak layak untuk membuatmu bersedih semacam ini karena semuanya ada di tangan Yang Maha Hidup dan Maha Mengatur”
Suatu ketika Nabi Isa as berkata kepada para sahabatnya: "Yang paling banyak mengeluh di antara kalian pada waktu ditimpa musibah adalah yang paling banyak menghadapkan wajahnya kepada dunia"
Orang lahir dengan polos
dan pergi dengan telanjang
di antara dua kejadian itu
kehidupan dunia dilaluinya dengan cemas
takut hartanya hilang
(Jalaluddin Rumi)

Yang paling sulit berhadapan dengan kemunafikan didepan kita baik-baik saja bahkan cenderung memuji berlebihan namun dibelakang menghabisi. Berusaha menjadi orang yang positif memang perlu pengorbanan...."percaya sama Allah swt, tetapkan tujuan.."

memiliki istri yang tidak gemar selfi...

Selasa, 10 November 2015

kejahatan akan menang.....

.

Alloh tahu kamu lelah,,,,

"Bagaimana kabar mu pagi ini?"

Al Muzani (Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya) bercerita, bahwa suatu hari ia menemui syafi'i ketika beliau sakit sebelom wafatnya. Ia berkata,
"Bagaimana kabar mu pagi ini?"
Imam Syafi'i menjawab:
"Aku akan beristirahat dari dunia, aku akan berpisah dari para sahabat. Aku akan minum dari gelas maut, dan kepada allah aku akan menghadap. Oohhh, bahkan aku tak tahu apakah ruhku nanti akan menuju syurga atau neraka. Maka takziahilah ia (ruh-ku) nanti.
Kemudian beliau menangis lalu bersenandung:
Jika hatiku mengeras melebam
Dan jalan-jalan tampak muram
Ku-jadikan harapanku atas ampunan
Sebagai tangga menuju keselamatan
Sungguh teramatlah besar dosaku
Dan saat kudekatkan pada ampunan
Oh.., tuhan, lebih besar lah ampunan mu. Engkau selalu masih akan mengampuni dosa
Engkau pemurah, pengpun dan pemulia
Demi engkau, janganlah sampai hamba menyembah iblis si tukang perdaya
Betapa tidak demikian, bahkan adam hamba-mu yang suci itu, ia tergelincirkan
Milik allah-lah nafas kearifan & jalan kemuliaan
Tempat menghadap seorang kekasih meminta keadilan dengan pelupuk yang mengalir darah oleh tangisan
Yang bangun sendirian disaat gelap malam memanjang disebabkan oleh rasa takut yang dahsyat dan kesedihan
Ia teramat fasih dalam dzikir menyebut tuhannya, padahal dihadapan sesama mahluk, ia gagap bicara.
Ia mengingat hari-hari yang lewat dari masa mudanya, yang dilalui dalam kebodohan dan bergelimang dosa
Maka, ia pun berteman duka sepanjang siang
Bersaudara pengakuan dan munajat saat malam datang
Ia berkata: kasihku, engkaulah harapan dan tujuanku
Cukuplah dirimu, bagiku, tempat meminta dan menuju
Bukankah engkau yang mendidik dan memberi petunjuk diri
Dan engkau pun pemberi anugarah dan nikmat tak henti-henti
Oohh... , semoga pemilik kebaikan mengampuni ketergelinciran ku
Dan menutupi dosa-dosa ku dan seluruh keburukan masa lalu.

Ulama besar yang atas kebesaranya tak mau meninggi. Bahkan dia pun merasa banyak dosa. Se kaliber imam syafi'i

Dikutip dari kumpulan diwan imam syafi'i

syariat islam di brunei darussalam

Kamis, 05 November 2015

BAHAYA PENGUASA


Abdulloh bin Mas'ud berkata:
إن على أبواب السلطان فتنا كمبارك الإبل، لا تصيبوا من دنياهم شيئا إلا أصابوا من دينكم مثله. (رواه البيهقى)
"Sesungguhnya pada pintu-pintu penguasa itu terdapat fitnah seperti ponggol unta. Tidak ada harta yang kalian terima darinya, kecuali akan mempengaruhi agama kalian".

Satu tahun dalam syariat Islam

Allah Swt, Tuhan Seru Sekalian alam menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya..
Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya.
Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari..
Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1437 H, semoga kita kedepan lebih baik didalamnnya dan diisi dgn sgla hal kebaikan, karena sebaik baiknya manusia yg mampu bermanfaat bagi yg lainya..

"Barang Siapa perhatiannya hanya pada apa yg masuk ke perutnya, maka nilai seseorang itu tidak lebih dari apa yg keluar dari perutnya"

Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Miliki Al-Hasani :
Alkisah ada seorang Fakir Miskin melewati jalan Madinah.
Di sepanjang jalan, dia sering melihat orang-orang makan Daging.
Diapun merasa sedih karena jarang sekali bisa makan Daging.
Dia pulang ke rumahnya dngan hati mendongkol.
Sesampai di rumah, istrinya menyuguhkan kedelai rebus.
Dngan hati terpaksa, dia memakan Kedelai itu seraya membuang kupasan Kulitnya ke luar jendela.
Dia sangat bosan dngan Kedelai.
Dia bilang kpada istrinya "Bagaimana hidup kita ini..?
Orang-orang makan Daging, kita masih makan Kedelai"

Tak lama kemudian, dia keluar ke jalan di pinggir rumahnya. Alangkah Terkejut, dia melihat seorang Lelaki Tua duduk di bawah jendela rumahnya sambil memungut Kulit-Kulit Kedelai yg tadi ia buang dan memakannya seraya bergumam:
الحمدلله الذي رزقني من غير حول مني ولا قوة
"Segala Puji bagi Allah SWT yg telah memberiku Rezeki tanpa harus mengeluarkan Tenaga"
Mendengar Ucapan Lelaki Tua itu, dia menitikkan Air Mata, seraya bergumam:
رضيت يا رب
"Sejak Detik ini, aku Rela dengan apapun yg Engkau berikan, ya Allah.."
Rejeki itu yg penting Mengalir,,
Besar Kecil yg penting ada Alirannya..
Jngan harap mengalir seperti banjir,,
Kalau tak bisa berenang bisa tenggelam..
ﺇﻟﻰ ﻣﺘﻰ ﺃﻧﺖ ﺑﺎﻟﻠﺬﺍﺕ ﻣﺸﻐﻮﻝ#
ﻭﺃﻧﺖ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻗﺪﻣﺖ ﻣﺴﺌﻮﻝ.
Sampai kapan engkau Sibuk dngn Kelezatan,
Sedangkan engkau akan di tanya tentang semua yg kau lakukan.
Kalam Sayyidina Ali bin Abi Thalib K.W.A:
ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﻤّﺘﻪ ﻣﺎ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﻪ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﻴﻤﺘﻪ ﻣﺎ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻨﻪ
"Barang Siapa perhatiannya hanya pada apa yg masuk ke perutnya, maka nilai seseorang itu tidak lebih dari apa yg keluar dari perutnya"

Selasa, 03 November 2015

DIPAKSA MENIKAHI PEREMPUAN CANTIK



Seminggu lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di sini, kota besar, sendiri memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh... handphoneku ini juga tak ada pulsanya.

Sewa kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah seminggu lagi. Acaranya sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah keluarga gadis itu, dan aku juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang tuaku yang mengaturnya, dan aku masih berpikir, mengapa orang tua gadis itu mau menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki seperti aku.

Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di hotel, membantu kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan sesekali mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk di kontrakan, menatap surat kabar untuk mencari kerja.

Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya denganku, dan hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin cuma Rp250.000. Lebih mengherankan, semua biaya acara ditanggung oleh keluarga si gadis.

Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu, mengawinkan aku dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung rapi. Ya, aku sudah melihat fotonya, dan karena kecantikannya, aku walaupun dengan semua keheranan itu, setuju juga dengan pernikahan yang diatur oleh keluarga ini. Ditambah, perempuan itu lulusan universitas luar negeri, berkerja sebagai pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk membayar angsuran mobil BMW.

Pada mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam gudang beras, tapi ketika acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada yang disembunyikan oleh keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama dengan wajah asli perempuan itu? Apakah perempuan itu sebenarnya janda? Atau yang paling menakutkan, jangan-jangan perempuan itu sedang mengandung anak orang lain, dan aku menjadi 'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.

***

Tengah hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari tahu latar belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau melepaskan anaknya kepada laki-laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus, aku beruntung duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.

Kepada laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon istri kita?”

“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau susah, pergi tempat kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya saudara-saudaranya.”

Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama lengkapya saja aku tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa banyak orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku tahu gadis itu bekerja di kantor Bappenas.

Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor Bappenas. Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti banyak orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung masuk ke kantor dan bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.

Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya, setelah pulang nanti boleh lah saya tanya tentang Sarimah. Itulah rencanaku, rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku pun duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang cuma satu beberapa meter di depanku.

Kemudian datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah terik. Di situ belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru saja dipangkas dahannya. Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah orang yang lalu lalang di situ turut memperhatikan.

Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara biasa. Nampak terlalu aneh.

Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat seorang perempuan keluar dari kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju kurung biru muda. Dia adalah calon istriku, yang Cuma aku kenal namanya. Sarimah. Hanya itu.

Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu Salman?”

Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat. Lebih terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa sekolah dahulu.

“Ya, saya. Kok kamu bisa tahu?”

“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di sebearang jalan. Mereka menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir wajahmu sama dengan foto yang ditunjukkan oleh ibu.”

Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku mencari informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan ternyata wajah aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin karena itu pass foto. Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto. Entahlah, ibu dan ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku. Ketika itu juga aku merasa jantungku berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku baru saja bangun tidur.

Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda perempuan mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang menutupi perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya. Pasti dia sadar kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia pikirkan sekarang.

Aku rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar berjumpa denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani. Barulah aku sadar, inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku. Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.

Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan raya, sambil memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk dipandang. Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor ayahku.

Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu menunjukkan contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas berpikir dan memberanikan diri, aku berkata, “Sudah makan?”

“Saya sedang diet.”

Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia bilang, ayo kita makan, aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan kembali sepi.

“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.

“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.

“Malam ini datanglah ke rumah.”

“Datang ke rumahmu?”

“Iya, makan malam dengan keluargaku.”

Aku terdiam. Berdebar-debar.

“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”

“Baiklah, selepas maghrib insya Allah aku sampai.”

***

Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan diriku. Mengapa aku tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku.

Cuma malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku bisa tanya ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku sekaligus? Tidak.. Tidak.... Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada ibu, habis semua rahasia anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan rahasia anaknya.

Lagipula aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya tahu. Rahasia yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir setiap bulan aku masih meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan, tetapi untuk pergi seorang diri, aku juga tidak berani.

Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor ayah langsung ke rumah kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi juga sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, karena dia juga senasib denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di kampung, dan aku bertarung hidup di kota.

Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak pandai bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi rupanya kemahiran Rudy yang tidak aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis dengan bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan perempuan, tidak seperti aku. Itulah akibatnya, aku tidak punya keyakinan apabila berhadapan dengan perempuan.

“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.

“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”

“Lama itu.”

Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam ini, tetapi belum ada kata yang bagus.

“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy, dan itu secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan rencanaku.

“Ini acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”

“Kerabatmu gimana?”

Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak mampu.

“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”

Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula, 'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang dia mainkan saat ini.

“Dia cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.

“Cantik.”

“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya. Harapan jenis apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku bahagia. Walaupun aku merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku mendapatkan gadis cantik.

“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”

“Kau belum pernah ketemu dia?”

“Baru tadi.”

“Memang dia cantik?”

“Memang cantik.”

Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.

“Apa pekerjaannya?”

“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan cukup tinggi.”

“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”

Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar. Dia pandangi wajahku.

Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”

Aku tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya merisaukanku juga.

“Kau tidak heran?” tanya Rudy.

“Ya heran juga sih.”

“Kau sudah periksa latar belakang perempuan itu?”

Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.

“Malam ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”

“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.

“Dia ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, baru akan aku cari tahu latar belakangnya.”

“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.

“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu kan berani, mungkin kamu bantu aku kepo juga.”

“Kepo? Kepoin apa?”

“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia percintaan. Pasti bisa bantu aku.”

Akhirnya, setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.

***

Malam itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku tersesat. Aku sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat makanan sudah terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah lapar.

“Maafkan saya karena terlambat.”

“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia adalah ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.

“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat bener baliknya?” tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu Sarimah.

“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”

Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik. Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.

“Beruntung kamu,” bisik Rudy.

Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku lirik-lirik Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.

“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya. Malah dengan Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai berdebar-debar.

“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.

Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!

“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.

Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku tampan. Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah hanya ingin menjaga perasaanku.

“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak nyangka, zaman sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang tua. Apa rahasianya Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja dia bertanya sambil ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan serius, tetapi ia nampak seperti bergurau.

“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”

Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.

Lalu aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”

“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”

Pada saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun kepada ayah dan ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu, ibuku cuma tanya, “Mau ibu carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab, “Boleh.” Tiba-tiba, dua minggu kemudian, aku sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan betul.

“Saya tidak tanya.”

Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.

“Begini, saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari, ngobrol-ngobrol di kedai kopi, kami bercerita tentang anak masing-masing, kemudian bercerita tentang jodoh, dan akhirnya, terus kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing. Setelah itu, inilah yang terjadi,” jelas ayah Sarimah.

“Begitu saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya agak terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.

Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.

Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk anak bungsu kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”

“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya Rudy, membuat aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu. Tiba-tiba aku berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.

“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.

“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa, sebenarnya Rudy mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin karena tidak sampai hati, dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku tahu betul sebab sudah lama aku kenal Rudy.

“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan, tidak ada pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari ibunya. Tetapi, dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya mereka sudah tahu kalau aku ini masih minta duit selama berbulan-bulan kepada ibuku.

“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.

“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua kali seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya pun tidak menentu dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak pernah lupa memberikan sedikit kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi, bayangkan walaupun hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang tua. Itulah namanya tanggungjawab!”

Aku tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan perkara itu juga kepada ayah Sarimah.

“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.

Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu, bukan saat kita kaya saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita pegang disaat kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya. Jadi, Bapak akan lega, karena tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki yang bertanggungjawab.”

“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah lupa shalat dan tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.” tambah Rudy yang membuat aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.

“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.

“Susah mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua mau menantu kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung. Mungkin dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.

“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak juga orang susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu Sarimah itu anak orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak termasuk yang terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang yang susah, sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang penting, dia susah bukan karena dia malas, tetapi karena memang belum rezeki. Beda sekali, orang malas dengan orang yang belum ada rezeki. Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur berguling-guling, memang Bapak tidak akan terima,” jelas ayah Sarimah dengan panjang lebar.

Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan ibu Sarimah. Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang. Perlahan-lahan juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.

“Anak Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang, biasanya semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus. Aku kembali berdebar-debar.

“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah. Awalnya, Bapak khawatir juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu apa yang membuat diadia setuju, mungkin Salman bisa tanya dia sendiri setelah menikah nanti,” kata ayah Sarimah, lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan Sarimah saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan bertanya dalam hati, “Mengapa kamu mau dengan lelaki seperti aku?'

***

Alhamdulillah. Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami Sarimah, dan setelah bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku kepada Sarimah mulai berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'. Lalu setelah resepsi, aku dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk pertama kalinya.

Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu ayah dan ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah, “Sayang, mengapa kamu setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku? Laki-laki yang belum tentu masa depannya, dan mungkin juga membuat dirimu menderita.”

Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari pertanyaan dalam hati.

Sarimah yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium tanganku, dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”

Aku mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.

“Ampuni apa sayang?”

“Sebab, Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah sempat tidak yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan Sarimah, yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan Abang di kota supaya mencari tahu latar belakang Abang. Malah, Sarimah juga solat iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”

Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi istriku, lalu aku angkat kepalanya dan kupandangi matanya.

“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga berasa curiga kepadamu.”

Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang perempuan yang bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut membuat aku merasa bahagia. Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang karena kita membahagiakan orang lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih belum terjawab sepenuhnya.

“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.

“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya teman, tapi katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari kerja, mengirim surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat Abang keluar dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang berjamaah.”

Aku mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun bertanya, “Tetapi orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik kan? Pasti banyak yang mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang ada sudah datang ke rumah untuk meminang.”

Sarimah sekali lagi tersenyum.

“Ya, memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”

“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.

Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau kakaknya sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan banyak laki-laki yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja dengan gaji yang lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun menikah, suami kakaknya mulai berubah karena belum juga mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka marah-marah.

Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung menggenggam tangan Sarimah erat-erat.

“Karena itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan dalam hidup Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah mengamanahkan ayah dan ibu untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi lelaki itu mampu membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan hati dengan agama.”

Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih laki-laki sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya. Genggaman tanganku semakin kuat.

“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah. Mohon bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan kemudian menetes di pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata Sarimah.

“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku merasa, bahuku sudah basah dengan air mata Sarimah.

Karya : Bahruddin Bekri

c