Laman

c

Selasa, 23 Desember 2008

Membuktikan Huntington Salah


Robert Ménard
Doha – Bagaimana jika penulis esai Amerika, Samuel Huntington, bapak dari teori "benturan peradaban", terbukti salah? Anggapan tersebut dapat terbang di hadapan meluasnya jurang antara pendapat publik di dunia Barat dan di negara-negara Arab.

Mari kita mencoba dan memahami alasan-alasan dari perpecahan ini mulai dari dua isu yang memperkuat wacana para pemimpin politik di Timur Tengah dan, secara lebih umum, apa yang disebut "Jalan Arab". Baik tentang konflik Israel-Palestina maupun sebagai tempat agama dalam kehidupan masyarakat, kata-kata yang kelihatannya memiliki makna berbeda di Washington, Paris, dan Kairo.

Terkait dengan masalah Palestina, para pemimpin Arab mempunyai sebuah kesempatan terbuka menuduh kita, orang Barat, memiliki standar ganda, tentang anggapan (mungkin tepat) bahwa konsep-konsep seperti "masyarakat internasional" , "demokrasi" atau "rasa hormat terhadap pemilihan umum" diserukan kepada kami hanya ketika itu melayani kepentingan- kepentingan kami.

Akibat yang tak dapat dihindari adalah bahwa pihak lain tidak dapat dipercaya. Dan kemudian sebuah dialog menjadi sulit terwujud.

Hal yang sama berlaku dalam hal agama. Di satu sisi, kami di Barat mengangkat tinggi nilai, keyakinan, dan resolusi kami tentang kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi manusia – demikian juga hak yang tak dapat dipisahkan untuk memberikan kritik– yang saat ini telah menjadi Dekalog kami. Di sisi lain dipadankan dengan kesucian Islam dan berpendapat bahwa hal tersebut seharusnya dipelihara dari segala ejekan dan sindiran.

Tetapi yang terpenting kami dihadapkan dengan larangan kami sendiri. Dengan selubung undang-undang memorial – di Prancis tentang Holokaus, genosida Armenia dan perbudakan – kami juga memiliki tabu-tabu tersendiri. Kami memegang tabu kami sebagai sesuatu yang sah, sementara yang lain.…

Dalam dialog tuli ini, media memainkan peran mendasar. Mereka dapat membantu membangun jembatan atau menyiramkan minyak ke api kontroversi.

Adalah pengamatan ini yang menghasilkan gagasan penciptaan sebuah pusat kebebasan informasi di Doha dengan tujuan untuk menjamin kebebasan media melalui sebuah dialog antara para jurnalis dari budaya-budaya dan agama-agama berbeda, dengan membantu para jurnalis dan media yang menderita akibat pelecehan, dan memberikan sebuah rumah yang aman bagi para jurnalis yang terancaman di negara mereka sendiri.

Ini merupakan kali pertama sebuah organisasi internasional yang mendorong pembelaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi di seluruh dunia didirikan di luar dunia Barat. Ini akan menjadi sangat penting dalam melumpuhkan dalih yang beranggapan bahwa pembelaan hak-hak asasi manusia merupakan lapangan bermain Barat dan sudah terlalu sering menjadi alasan untuk memajukan kepentingan- kepentingannya sendiri.

Kalau begitu, mengapa Qatar?

Karena negara kecil ini memandang mediasi sebagai panggilannya. Qatar telah menunjukkan kemampuan mediasinya di Lebanon, seperti dukungannya bagi dialog antar bangsa Lebanon bulan Mei ini, dengan hasil-hasil yang telah diketahui dengan baik. Ia juga memainkan peran penting dalam pembebasan para perawat Bulgaria pada bulan Juli yang ditahan di Libya. Usaha-usaha terbarunya adalah untuk menemukan sebuah penyelesaian bagi drama Darfur juga sedang membuat berita utama.

Tetapi biar bagaimana pun Qatar merupakan sebuah pengecualian, sangat sedikit negara tempat Israel dan Palestina dapat bertatap muka. Badan-badan pemerintahan dari pusat tersebut termasuk tokoh-tokoh kunci dari dunia Arab dan Yahudi, selain para pemimpin politik dari Afrika Utara dan negara-negara Teluk. Kenyataan penting ini seharusnya memastikan bahwa kegiatan-kegiatan pusat tersebut tidak akan, sesekali, hanya bersifat retorika.

Gagasannya adalah untuk tidak menambahkan seruan bagi dialog dan toleransi pada daftar panjang seruan yang tetap merupakan sebuah surat mati hingga hari ini, tetapi lebih pada upaya untuk merancang tanggapan-tanggapan yang terukur, kemajuan-kemajuan yang nyata, walau kecil sekali pun. Dalam hal ini, pusat tersebut telah mengawali, bersama dengan Yayasan Samir Kassir, sebuah pertemuan media Lebanon dengan tujuan untuk menyiapkan sebuah "Tata Etika", dengan keyakinan bahwa sebuah dialog yang hidup, tak dibatasi, tak dikekang selalu lebih baik daripada perseteruan, ejek mengejek, dan intimidasi.

Akahkan Pusat tersebut membangkitkan sebuah pandangan yang berbeda? Dan sebuah pandangan yang berbeda tentang hak-hak asasi manusia yang telah begitu diperburuk oleh kebijakan-kebijakan tertentu yang berusaha untuk memaksakan mereka dengan todongan pistol? Hal-hal inilah tantangannya: membuktikan bahwa Huntington dan teorinya salah.


* Robert Ménard adalah direktur jenderal Pusat Kebebasan Media Doha. Artikel ini awalnya diterbitkan di La Tribune des Droits Humains dan ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground, 12 Desember 2008, www.commongroundnew s.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

c