Bagaimanakah hukumnya jika kita memperoleh penghasilan dari pekerjaan
haram? Apakah wajib dibayar juga zakatnya? Apakah jika dibayarkan
zakatnya, hartanya tersebut menjadi bersih? Islam selalu memerintahkan
bahwa sumber harta, proses memperolehnya, dan pertumbuhannya harus halal
dan baik. Allah SWT berfirman,
“Hai manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan adalah musuh
yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Selain itu, Allah
SWT telah melarang semua bentuk dan jenis pendapatan dan harta yang
haram dan buruk, baik sumber maupun proses perolehannya. Sebab, semuanya
itu merupakan tindakan aniaya terhadap orang lain. Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil….” (QS Al-Baqarah [2]: 188)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu....” (QS An-Nisaa’ [4]: 29)
Dan,
masih banyak lagi ayat lainnya yang melarang jenis harta haram dan
perolehannya dengan jalan yang diharamkan. Pada zaman sekarang, terdapat
banyak macam harta yang diperoleh dengan cara yang bathil (haram) dan
tidak sesuai dengan syariat, misalnya, harta riba, suap, ghasab,
penipuan, jual beli jabatan, uang palsu, judi, pencopetan, pencurian,
korupsi, dan perampokan, dan hasil dari jual beli barang yang
diharamkan, seperti babi, narkoba, dan minuman keras. Semua jenis harta
di atas, tidak wajib dizakati atau tidak tunduk kepada zakat,
berdasarkan firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari
padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi
Maha Terpuji.” (QS Al-Baqarah [2]: 267)
Dan, hadits Rasulullah saw,
“Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak akan menerima (sesuatu) kecuali yang baik.” (HR Muslim)
Adapun sisi keharaman dan problematikanya dengan zakat secara terperinci dijelaskan sebagai berikut.
1.
Harta haram adalah semua harta yang secara hukum syariat dilarang
dimiliki atau dimanfaatkan, baik haram karena bendanya mengandung
mudarat, najis atau kotoran, seperti bangkai dan minuman keras; atau
haram karena faktor luar, seperti adanya kesalahan dalam cara
memperolehnya, seperti mengambil sesuatu dari pemiliknya tanpa izin
(merampok; mencuri; ghasab; mencopet; korupsi) atau mengambil dari
pemilik dengan cara yang tidak dibenarkan hukum, meskipun dengan
kerelaan pemiliknya, seperti transaksi riba dan sogok atau suap.
2.
Pemegang harta haram yang perolehannya dengan cara yang tidak
dibenarkan syariat, tidak dianggap pemilik barang tersebut
selama-lamanya. Dia diwajibkan mengembalikannya kepada pemilik aslinya
atau kepada ahli warisnya jika diketahui. Jika tidak diketahui lagi, dia
diwajibkan membelanjakan harta tersebut kepada kepentingan sosial
dengan meniatkan bahwa dermanya tersebut adalah atas nama pemilik
aslinya.
Adapun jika ia mendapatkan harta haram itu sebagai upah
dari pekerjaan yang diharamkan maka ia harus mendermakannya untuk
kepentingan sosial dan tidak boleh dikembalikan kepada orang yang
memberinya. Harta haram tidak dikembalikan kepada pemilik semula, selama
dia masih tetap melakukan transaksi yang tidak legal tersebut, seperti
harta yang diperoleh dari transaksi riba. Akan tetapi, diharuskan
mendermakannya kepada kepentingan sosial.
Apabila terdapat
kesulitan dalam mengembalikan harta tersebut, pemegangnya diwajibkan
mengembalikan nilainya kepada pemiliknya semula jika diketahui, bila
tidak, maka nilai tersebut didermakan kepada kepentingan sosial dengan
meniatkan derma tersebut atas nama pemilik semula.
3. Harta yang
haram karena zatnya sendiri (haram lidzatihi), seperti babi, khamar,
narkoba, anjing, darah, dan bangkai tidak wajib dibayar zakatnya, karena
menurut hukum syari’at tidak dianggap harta yang berharga.
4.
Pemegang harta yang haram karena adanya cara memperolehnya dengan cara
yang tidak dibenarkan agama, maka ia tidak wajib membayar zakatnya,
karena tidak memenuhi kriteria “dimiliki dengan sempurna” yang merupakan
syarat wajib zakat. Apabila sudah kembali kepada pemiliknya semula,
yang bersangkutan wajib membayar zakatnya untuk satu tahun yang telah
lalu, walaupun hilangnya sudah berlalu beberapa tahun. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang lebih kuat (rajih).
5. Pemegang harta haram
yang tidak mengembalikannya kepada pemilik aslinya, kemudian membayarkan
sejumlah zakat dari harta tersebut, masih tetap berdosa menyimpan dan
menggunakan sisa harta tersebut dan tetap diwajibkan mengembalikan
keseluruhannya kepada pemiliknya selama diketahui, bila tidak, maka dia
diwajibkan mendermakan sisanya. Adapun harta yang dibayarkan itu tidak
dinamakan zakat.
* Artikel ini dikutip dari buku “Panduan
Pintar Zakat” terbitan QultumMedia. Buku yang ditulis oleh H. Hikmat
Kurnia dan A. Hidayat, Lc. ini membahas segala aspek zakat dan metode
penghitungannya dalam seluruh model usaha dan pendapatan. Selain itu,
dilengkapi pula dengan CD program penghitung zakat sehingga lebih mudah
mengalkulasi zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar