Oleh Ali Alfarisi
=================
Dalam rentang waktu satu minggu ini saja, saya mendapatkan
setidaknya tiga buah undangan pernikahan. Mereka mau mengakhiri masa
lajangnya, mengikuti sunnah Rosulnya dan menggenapkan separo Dien-nya,
MENIKAH.
Semoga pernikahan kalian barokah, proses dan segala pernak-pernik
pernikahannya juga barokah, dan tentunya masyarakat sekitar juga
mendapatkan barokah atas pernikahan ini.
Menikah, sebuah kata yang selalu menarik untuk saya dengar dan
bicarakan. Bukan karena saya sendiri telah menikah, bukan pula karena
kita akan makan enak untuk perbaikan gizi dengan mendatangi wedding
party-nya, dan juga bukan karena saya suka menikah, terlebih bukan
karena saya ingin menikah lagi.
Wah kalau yang ini sih bakalan ada Perang Dunia Jilid III dalam keluarga saya. Lebih menarik lagi kalau yang menikah anak-anak muda, senang sekali rasanya mendengarnya. Jadi ingin muda lagi deh.
Dalam bukunya M. Fauzil Adzim-Kado Pernikahan Untuk Istriku-, saya
pernah membaca sebuah kalimat “Menikah adalah salah satu cara membuka
pintu rezeki”. Mungkin karena begitu banyaknya pintu rizki itu dan
ternyata menikah adalah salah satu dari pintu-pintu itu.
Bisa jadi tidak ada bukti ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan
untuk membuktikan hal ini, karena keyakinan ini akan didapat hanya
dengan paradigma Iman, keyakinan yang utuh dan tidak ragu sedikitpun
atas janji Allah sebagai Tuhan pemberi rizki pada semua makhluk-Nya.
Saat pertama kali dihadapkan dengan pertanyaan ‘menikah’ dalam hidup saya, perasaan ragu, bimbang, takut dan tidak percaya diri berkecamuk dalam pikiran, mengingat saya hanya seorang buruh berpenghasilan 500 ribuan perbulan.
Membayangkan bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga, susah sekali saya menemukan keyakinan, apalagi bukti— bahwa seorang saya hanyalah menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri atau anak kelak.
Tapi pernikahan memang tidak bisa dihitung secara matematis, karena campur tangan Allah sungguh dominan disana. Jika kesiapan menikah diukur dari kemampuan materi, sungguh nestapanya orang-orang papa.
Apalagi setelah saya bekerja di negara orang seperti saat ini, saya menemukan banyak teman kerja dari Indonesia yang sudah mempunyai posisi bagus dan berpenghasilan di atas 50 juta tapi masih belum mampu menemukan keyakinan dalam hatinya untuk mengakhiri masa lajangnya.
Lalu apa sebenarnya janji Allah untuk orang-orang yang akan melangsungkan pernikahan? Sepanjang yang saya pahami inilah kira-kira janji Allah yag harus kita jemput.
“Dan nikahkanlah orang–orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba–hamba sahayamu lelaki dan
hamba-hamba sahaya yang perempuan, Jika mereka miskin Allah akan
mengayakan mereka dengan karuniaNya. Allah
Maha luas (pemberian-Nya),
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur [24] : 32)
Allah merupakan sesuatu yang pasti dan tidak pernah Ia ingkari.
Oleh karena itu tidak ada lagi yang membuat kita ragu untuk menikah.
Melangkahlah dengan pasti menuju keridhoan Allah Azza wa Jalla
dengan menjalankan salah satu syari’at-Nya yaitu menikah.
Ada pula sabda Rasulullah, “Menikahlah maka kau akan menjadi kaya”.
Mungkin secara logika akan sangat sulit dibuktikan statemen-statemen
tersebut. Sebuah keniscayaan, akan banyak pertanyaan paling rewel dari
makhluk bernama manusia, “Bagaimana mungkin saya akan menjadi kaya
sedangkan saya harus menanggung biaya hidup istri dan anak?”
Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan interaksi sosial juga tidak
bisa lagi saya sikapi dengan gaya para lajang yang simple, cuek serta
penuh dengan konsep-konsep idealis.
Contoh saja, kalau ada keluarga
mertua, tetangga atau teman yang hajatan, menikah dan sebagainya.
Sunatullah berbanding lurus dengan keyakinan manusia, dengan sepenuh
keyakinan hati dan iman, mari kita jemput janji Allah di telaga
kenikmatan bernama MENIKAH.
Loh kenapa telaga kenikmatan? Menikahlah segera, niscaya anda akan tahu jawabnya.
Wallahu'alam.
sumber : eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar