Di dalam Al-Qur`an, ada satu surah bernama surah “Al-Ikhlas”. Bunyi lengkap surah tersebut adalah sebagai berikut.
“Katakanlah,
‘Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan. Serta tiada seorang pun yang
setara dengan-Nya.” (QS Al- Ikhlas [112]: 1-4)
Surat pendek yang
jatuh pada urutan ke-112 dari urutan surat-surat dalam Al-Qur`an ini
sangat populer di semua usia, termasuk anak-anak. Salah satu poin yang
menarik dari surat yang hanya berjumlah empat ayat ini adalah karena
meskipun namanya surat Al-Ikhlas, namun tak satu kata ”ikhlas” pun yang
kita temukan di dalamnya.
Ini mengindikasikan bahwa ikhlas itu
memang sangat abstrak, bahkan tidak bisa dideteksi oleh alat detektor
mana pun, termasuk oleh setan dan iblis. Hanya Allah SWT yang Maha
Mengetahui perihal keikhlasan hati seseorang. Siapa saja bisa
mengatakan, ”Saya melakukannya dengan penuh ketulusan.” Tidak pernah ada
larangan untuk mengatakan dan mengungkapkan kata-kata seperti itu.
Namun, siapa yang akan mampu mendeteksi kebenaran dari kata-kata
tersebut, bila—misalnya—antara kata dan perbuatannya berbeda.
Ketika
azan berkumandang, pertanda waktu shalat telah tiba, orang-orang
berdatangan menuju masjid. Namun, siapakah yang menjamin bahwa setiap
yang datang melangkah ke masjid berniat semata-mata karena Allah? Bisa
jadi ada yang datang karena seusai shalat mau berjualan pada jamaah yang
shalat di masjid tersebut. Mungkin pula ada yang mau datang ke masjid
karena terikat janji pertemuan dengan temannya. Ada pula yang mau datang
karena seusai shalat ada pengajian, apalagi seusai pengajian disiapkan
santapan berupa kue-kue atau makanan lainnya yang tentu dibagikan secara
Cuma-cuma. Astaghfirullah, semoga kita tidak termasuk yang demikian
itu.
Idealnya, setiap gerakan dan perbuatan yang kita lakukan,
hendaknya dilakukan dengan niat yang penuh semata-mata karena Allah SWT.
Mungkin amat sulit dilakukan, terutama di zaman seperti saat ini, zaman
ketika pengaruh materialisme amat mengkristal. Namun, sesulit apa pun,
tidak berarti tidak bisa dilakukan. Memang perlu latihan yang kontinu,
kesabaran yang tak bertepi, ketekunan yang luar biasa dan tentu saja
”perjuangan”. Allah SWT berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang
lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)
Kita kembali pada surat
Al-Ikhlash. Pada surat tersebut, terdapat teks, “Allah tempat
bergantung.” Ya, memang hanya Dia-lah Zat yang pantas dan Mahamampu
untuk menjadi tempat bergantung semua yang kita perlukan. Kalau kita
menggantungkan harapan kepada orang lain, baik itu orangtua, pasangan
hidup, kekasih, dokter, sopir, teman, sahabat, guru, kiai, ajengan, atau
apa dan siapa saja, sungguh sebaiknya kita bersiap-siap untuk kecewa,
karena orang, barang, atau bahkan institusi itu bukan tempat yang pantas
untuk menjadi tempat bergantung sehingga amat sangat berpotensi untuk
kecewa dan mengecewakan.
Oleh karena itu, inilah saatnya untuk berlatih secara pelan-pelan tapi pasti........
Selengkapnya: http://qultummedia.com/Artikel/ibadah/rahasia-surah-al-ikhlash.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar